Ghosting hingga KDRT jadi penyebab perceraian di Indonesia

Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/ BKKBN, Jakarta —
Sepanjang tahun 2024 kasus perceraian di Indonesia tercatat sebesar 408.347. Angka ini sudah mengalami penurunan dari 467 ribu kasus di tahun 2023 dan 516 ribu kasus di tahun 2022 (data BPS).

Menurut Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Dr. Wihaji, S.Ag, M.Pd, yang diwakili oleh Deputi KS, Nopian Andusti, SE, MT, “persiapan pernikahan sangat penting untuk menurunkan angka perceraian di Indonesia karena pernikahan merupakan fase penting dalam kehidupan yang membutuhkan banyak kesiapan, baik dari segi kesehatan fisik, mental, finansial, spiritual, maupun keterampilan dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan sakinah”, yang disampaikan dalam sambutan kegiatan Kelas Pranikah yang dilaksanakan secara daring pada Jumat sore (14/02/2025).

“Dalam rumah tangga, suami dan istri memiliki fungsi dan peran yang saling melengkapi untuk menciptakan keluarga yang harmonis, bahagia, dan sejahtera”, tambahnya.

Peran tersebut tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi atau domestik, tetapi juga mencakup pengasuhan anak, dukungan emosional, dan pengambilan keputusan bersama. Kecenderungan sebagian besar para suami hanya berperan sebagai pencari nafkah, tetapi kurang dalam kesempatan untuk memiliki tanggung jawab pada partsipasi pengasuhan anak dan berbagi peran untuk membangun rumah tangga yang harmonis secara seimbang.

Kasus perceraian di Indonesia sendiri mayoritas disebabkan oleh pertengkaran dan perselisihan dalam rumah tangga, menurut Direktur Bina Ketahanan Remaja, Dr. Edi Setiawan, S.Si, M.Si, M.SE, “ini fakta yang kita dapat dari Kementerian Agama, ternyata kasus cerai itu disebabkan karena sebagian besar pertengkaran dan perselisihan dalam keluarga sebesar 61,7%, memang ada masalah ekonomi seperempat atau 20%nya.”

“Ada salah satu pihak yang ditinggal pergi/ di ghosting sebesar 8,4%, ada juga kasus KDRT dan ini KDRT angkanya kecil kenapa, karena yang dilaporkan sekian persen saja tetapi kasus sebenarnya jauh lebih besar dari 1,3%, yang terakhir adalah mabuk-mabukan, bahaya juga nih, artinya dia belum kenal dengan suaminya, suaminya mabuk-mabukan tapi sudah terlanjur menikah karena itu kenali dulu pasangan kalian, karena menikah itu bukan soal tinggal bersama tetapi soal hidup bersama, bagaimana kita melakukan adaptasi dan penyesuaian dengan pasangan kita”, lanjut Edi.

Angka perceraian yang tinggi dan kasus-kasus perceraian dalam rumah tangga membuat siap nikah menjadi tren baru di kalangan remaja.

Wihaji yang diwakili oleh Nopian mengatakan bahwa “Kondisi ini berdampak terjadinya peningkatan kesadaran akan pentingnya kesiapan sebelum menikah. Pasangan cenderung lebih selektif dan mempertimbangkan aspek finansial, emosional, serta kestabilan dalam hubungan sebelum memutuskan untuk berumah tangga”.

Ada 10 Dimensi Kesiapan Berkeluarga menurut Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN yang disampaikan oleh Edi didalam materinya, yaitu: 1) Kesiapan usia, sesuai dengan batas usia ideal menikah menurut Kemendukbangga/ BKKBN adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. 2) Kesiapan finansial. 3) Kesiapan emosi. 4) Kesiapan sosial. 5) Kesiapan moral. 6) Kesiapan mental. 7) Kesiapan interpersonal. 8) Kesiapan fisik. 9) Kesiapan intelektual dan 10) Keterampilan hidup .

Kemendukbangga/BKKBN juga memiliki aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Siap Hamil (Elsimil) yang didalamnya ada edukasi kesiapan menikah sebelum pernikahan dan untuk screening kesehatan juga pendampingan bagi calon pengantin (catin). Kemendukbangga ingin memastikan bahwa catin yang menikah sehat sehingga bayi yang dilahirkannya juga sehat.

Selain itu, menurut Johana Rosalina, Phd, Konselor Keluarga dari Universitas Bina Nusantara (Binus) sekaligus sebagai pemateri dari Kelas Pranikah, bahwa harus ada pengelolaan konflik dalam pernikahan, dengan strategi penyelesaian konflik dengan lasangan sebagai tim, mencari titik temu permasalahan, meluangkan waktu untuk mendiskusikan hal penting yang kecil maupun besar, menggunakan pendekatan problem solving karena setiap masalah ada solusinya, yang terakhir belajar untuk tidak defensive dan tidak ragu bila salah untuk meminta maaf.

“Family who spend time together will stay forever”, tutup Joana.

Penulis: Fatimah
Editor: Tim Humas

Tanggal Rilis: Jumat, 14 Februari 2025

Post Terkait